DETIKUTAMA.COM//SLEMAN – Batas penyampaian Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), berakhir 31 Maret lalu. Namun kejujuran dalam pelaporan LHKPN masih banyak yang patut dipertanyakan lantaran beberapa di antaranya terindikasi tidak jujur.
Salah satunya data laporan LHKPN yang disampaikan Bupati Sleman Kustini Sri Purnomo yang sudah sekian tahun menjabat, justru stagnan bahkan turun. Kustini Sri Purnomo pada 2020 melaporkan harta kekayaannya senilai Rp 12.938.549.395. Sedangkan dalam LHKPN 2024 harta kekayaan yang dilaporkan sebesar Rp 12.300.070.041.
Padahal, berdasarkan penelusuran, dirinya memiliki harta lebih besar dibanding yang dilaporkan. Tampak harga aset yang dimiliki tercantum jauh lebih rendah dari nominal seharusnya. Ada rumah dengan luas dan struktur bangunan mewah bernilai miliaran rupiah tetapi hanya dilaporkan ratusan juta.
Diduga, Kustini mencantumkan nama kerabat terdekatnya atas kepemilikan lahan, bangunan maupun perusahaan. Sehingga tidak tercantum dalam LHKPN. Beberapa kejanggalan lain di antaranya soal kepemilikan aset yang tidak dilaporkan. Praktik tersebut dicuriga sebagai upaya penggelapan pajak hingga pencucian uang.
Misalnya lahan atau properti yang berupa kost eksklusif, rumah pribadi dan tanah pekarangan di kawasan Jl Damai, rumah pribadi lainnya di kawasan Jaban yang difungsikan menjadi klinik maupun perusahaan lainnya yang diatasnamakan anaknya.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar mengatakan, para pejabat publik ini sedikit pintar dalam menyembunyikan harta kekayaan. Dia tak menampik bahwa ada pejabat ‘mengakali’ LHKPN dengan menggunakan modus pinjam nama.
“Meski secara legal dimiliki oleh orang lain, tapi pemilik manfaat adalah si pejabat dan keluarganya. Kalau sudah seperti itu bisa saja ada motif pencucian uang,” kata Fajry.
Selain itu, ada juga pola lain untuk menyamarkan harta yaitu dengan mengatasnamakan kepemilikan harta terhadap perusahaan. Untuk itu, ia mengaku masih terus mempelajari pola-pola tersebut.
“Udah gitu, pakai PT. LHKPN kalau PT itu cuma nominal saham. Urusan PT berkembang transaksinya apa, dan lain-lain. Dia PT, saya nggak bisa lihat. Canggih nggak? Itu antara lain yang saya pelajari,” kata dia.
Dia melihat, modus lain dilakukan pejabat bentuknya adalah pengaburan nama harta dengan mencatut nama orang lain. Untuk aset kendaraan misalnya, fakta yang sering terungkap adalah bahwa pemilik aslinya menggunakan nama asisten rumah tangga (ART), sopir atau orang lain dengan pemberian imbalan.
“Dengan demikian, nama yang tertera di bukti kepemilikan kendaraan tersebut bukan nama pemilik aslinya. Modus ini juga pernah marak terjadi di kepemilikan saham sehingga muncul istilah ‘nominee shareholder’,” ujarnya.
Baginya, setelah memutuskan menjadi pelayan publik, mereka wajib menanggalkan kerahasiaan harta pribadi. Semua wajib diketahui rakyat.
“Sehingga bisa ada fungsi kontrol masyarakat dan dapat meminta klarifikasi bila ada yang kurang wajar,” tuturnya.
Ia menilai dugaan manipulasi laporan harta kekayaan karena banyak usaha yang dimiliki para Bupati namun tidak dimasukkan saat sebelum dan sesudah menjabat. Dia mendesak KPK mengusut dan mengaudit harta kekayaan para Bupati yang diduga sengaja memanipulasi harta yang tidak dimasukkan ke LHKPN.
“KPK juga harus selidiki dan ini menjadi pertanda dan petunjuk kuat bahwa telah terjadi penyelahgunaan wewenang sehingga sengaja dirahasiakan atas nama orang lain,” tandasnya.
Di kalangan pengusaha, Keponakan Kustini juga menjadi momok yang menakutkan. Pasalnya, dari sekian banyak proyek yang dilelang Pemda Sleman, sang pemenang diwajibkan membeli produk dari perusahaan miliknya atau juga diduga milik Kustini.
“Sebelum Kontrak, kami diperintah Kepala Dinas untuk menghadap keponakan Bupati yang bernama Wildan. Kalau tidak bersedia, ancamannya lelang akan dibatalkan,” ujar salah seorang pengusaha yang kerap mengikuti proses lelang di Sleman.
KPK sendiri telah berencana menerbitkan aturan agar bisa memberikan sanksi bagi para pejabat yang tidak jujur atau berbohong dalam LHKPN. Instrumen itu bakal dituangkan dalam Peraturan Komisi (Perkom) KPK.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata awalnya menjelaskan, KPK mendorong agar ada perubahan Perkom berkaitan dengan LHKPN. Perubahan itu untuk mengatur bahwa KPK punya kewenangan untuk menentukan pejabat yang wajib menyampaikan LHKPN.
“Tahun ini sudah kami perintahkan agar jadi Perkom ini, termasuk sanksi tadi. Sanksi itu kami akan menetapkan kalau ada pejabat yang, misalnya, tidak jujur dalam pengisian, harus diberhentikan dari jabatannya atau di-nonjob dari posisi yang bersangkutan,” terangnya.(***)